Hampir seluruh manusia pernah terjangkiti Hasad. Ibnu Taimiyyah berkata :
وَالْمَقْصُوْدُ أَنَّ ” الْحَسَدَ ” مَرَضٌ مِنْ أَمْرَاضِ النَّفْسِ وَهُوَ مَرَضٌ غَالِبٌ فَلاَ يَخْلُصُ مِنْهُ إِلاَّ قَلِيْلٌ مِنَ النَّاسِ وَلِهَذَا يُقَالُ : مَا خَلاَ جَسَدٌ مِنْ حَسَدٍ لَكِنَ اللَّئِيْمَ يُبْدِيْهِ وَالْكَرِيْمَ يُخْفِيْهِ
“Maksudnya yaitu bahwasanya hasad adalah penyakit jiwa, dan ia adalah penyakit yang menguasai, tidak ada yang selamat darinya kecuali hanya segelintir orang. Karenanya dikatakan, “Tidak ada jasad yang selamat dari hasad, akan tetapi orang yang tercela menampakkannya dan orang yang mulia menyembunyikannya” (Majmuu’ Al-Fataawaa 10/125-126)
Kenapa hasad sulit dihindari?, Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata
وَالْحَسَدُ مَرْكُوْزٌ فِي طِبَاعِ الْبَشَرِ وَهُوَ أَنَّ الإِنْسَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَفُوْقَهُ أَحَدٌ مِنْ جِنْسِهِ فِي شَيْءٍ مِنَ الْفَضَائِلِ
“Hasad tertanam di tabi’at manusia, yaitu namanya manusia benci jika ada seorangpun –yang sejenis dengannya (sesama manusia)- yang mengunggulinya dalam suatu keutamaan” (Jaami’ul ‘Uluum wa al-Hikam hal 327)
Akan tetapi… lantas apakah kita harus pasrah dan mengikuti penyakit hasad yang merongrong hati kita???
Model-model Manusia Terhadap Hasad
“Manusia bermodel-model dalam menghadapi hasad:
(Pertama) : Diantara mereka ada yang berusaha untuk menghilangkan kenikmatan yang ada pada orang yang dihasadi, dengan berbuat dzolim kepadanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan lalu diantara mereka ada yang berusaha hanya untuk menghilangkan kenikmatan tersebut dari yang dihasadi tanpa harus berpindah kenikmatan tersebut kepadanya Dan inilah yang merupakan bentuk hasad yang paling buruk dan paling keji, dan inilah hasad yang tercela dan terlarang. Ia adalah hasad yang merupakan dosa Iblis, dimana ia telah hasad kepada Adam ‘alaihis salaam tatkala ia melihat Adam telah mengungguli para malaikat, yaitu Allah telah menciptakan Adam dengan tanganNya, telah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya, Allah telah mengajarkannya nama-nama segala sesuatu, serta Allah menempatkan Adam di surga di sisiNya. Maka Iblispun terus senantiasa berusaha untuk mengeluarkan Adam dari surga, hingga akhirnya iapun berhasil mengeluarkan Adam dari surga…
Hasad ini pulalah yang merasuki orang-orang yahudi sebagaimana telah Allah sebutkan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya firman Allah
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS Al-Baqoroh : 109)
Juga firman Allah :
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا (٥٤)
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia [Yaitu: kenabian, Al Quran, dan kemenangan] yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar” (QS An-Nisaa’ : 54)” (Dari perkataan Ibnu Rojab dalam Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam hal 327)
(Kedua) : Diantara mereka ada yang menghendaki kenikmatan yang ada pada saudaranya berpindah kepada dirinya. Misalnya saudaranya tersebut memiliki seorang istri yang cantik lantas ia berangan-angan agar saudaranya menceraikan istrinya tersebut atau agar saudaranya segera meninggal sehingga iapun bisa menikahi sang wanita.
Atau saudaranya memimpin sebuah markaz lantas ia berangan-angan agar saudaranya segera hengkang pergi atau segera meninggal agar ialah yang akan menjadi pemimpin markaz tersebut.
Atau saudaranya seorang dai yang terkenal dan memiliki banyak pengikut, maka iapun berangan-angan agar saudaranya melakukan kesalahan sehingga ditinggalkan oleh para pengikutnya maka para pengikutnya akan berpaling kepadanya.
(Ketiga) : Ia bukan berharap hilangnya kenikmatan yang ada pada saudaranya, akan tetapi ia berbahagia jika saudaranya tetap dalam kondisinya yang buruk, tetap dalam keadaan miskin, atau tetap dalam keadaan bodoh, atau tetap dalam keadaan terjerumus dalam kesalahan atau bid’ah. Karenanya hatinya menjadi teriris-iris jika saudaranya tersebut menjadi kaya, atau menjadi pintar dan alim, atau yang tadinya terjerumus dalam bid’ah kemudian mengenal sunnah.
(Keempat) : Ia tidak berharap hilangnya kenikmatan yang ada pada saudaranya, akan tetapi ia berharap dirinya memperoleh kenikmatan sebagaimana yang dirasakan oleh saudaranya, dan ia berusaha untuk memperolehnya, sehingga kondisinya bisa setingkat/setara dengan saudaranya tersebut. Akan tetapi tatkala cita-citanya tersebut tidak tercapai, kenikmatan tidak bisa ia raih maka iapun terjerumus dalam hasad, iapun ingin kenikmatan pada saudaranya lenyap, sehingga saudaranya tersebut bisa terjatuh dan setara dengan dirinya. (poin kedua hingga keempat silahkan lihat kitab Fiqh Al-Hasad karya Musthofa Al-‘Adawi hal 9-10)
(Kelima) : Ia hasad kepada saudaranya, akan tetapi ia tidak berusaha untuk menghilangkan kenikmatan yang ada pada saudaranya, ia tidak menzoliminya baik dengan perbuatan maupun dengan perkataan. Jika ia berusaha untuk menghilangkan hasad dalam hatinya akan tetapi ia tidak berhasil, bahkan hasad tetap mendominasinya maka orang seperti ini tidak berdosa selama ia tidak merealisasikan penyakit hasadnya dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
Adapun jika ia sengaja membisikkan hatinya untuk hasad dan mengulang-ngulang bisikan tersebut dalam hatinya, dan ia tenteram dan condong kepada hilangnya kenikmatan dari saudaranya, meskipun ia tidak merealisasikan hasadnya dalam bentuk perkataan maupun perbuatan akan tetapi hanya disimpan dihati, maka orang seperti ini ada khilaf diantara para ulama, apakah ia dihukum atau tidak?, apakah ia berdosa atau tidak?. Masalahnya apa yang ia lakukan dengan membisikan hasad kepada hatinya mirip dengan ‘azam/tekad yang dipasang untuk melakukan kemaksiatan meskipun belum melakukan kemaksiatan. Dan sebagian ulama menyatakan bahwa jika niat sudah sampai pada derajat ‘azam/tekad maka menimbulkan dosa. (Lihat Jaami’ul ‘Uluum hal 327-328).
Ibnu Taimiyyah berkata, “Barang siapa yang mendapati dalam dirinya rasa hasad kepada orang lain maka hendaknya ia menggunakan ketakwaannya dan kesabarannya untuk membenci hasad yang ada dalam dirinya.
Banyak orang yang memiliki agama (yang kuat) mereka tidak berbuat dzolim kepada orang yang dihasadi, mereka juga tidak menolong orang yang menzolimi orang yang dihasadi. Akan tetapi mereka juga tidak menunaikan kewajiban hak orang yang dihasadi. Bahkan jika ada seseorang yang mencela orang dihasadi tersebut maka mereka tidak setuju dengan pencela tadi namun juga tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang dihasadi. Mereka ini berhutang kepadanya karena telah meninggalkan perkara yang diperintahkan untuk menunaikan haknya dan kurang dalam menunaikannya, namun mereka tidak berbuat pelanggaran terhadap haknya. Maka balasan terhadap mereka adalah hak-hak mereka juga akan terkurang hak-hak mereka, sehingga mereka juga tidak akan disikapi dengan adil dalam beberapa kondisi, serta mereka juga tidak akan ditolong melawan orang yang yang menzolimi mereka sebagaimana mereka tidak menolong orang dihasadi tersebut. Adapun barang siapa yang melanggar/menzolimi orang yang dihasadi baik dengan perkataan maupun perbuatan maka ia akan dihukum” (Majmuu’ Al-Fataawaa 10/125)
(Keenam) : Yaitu seseorang yang tatkala mendapatkan dalam dirinya rasa hasad maka ia berusaha menghilangkannya dengan cara berbuat baik kepada saudaranya yang ia hasadi, ia mendoakannya, ia menyebarkan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaannya, hingga akhirnya ia mengganti hasadnya dengan mencintai saudaranya. Ini termasuk derajat keimanan yang tertinggi. Pelakunya adalah seorang yang imannya sempurna, yang menghendaki bagi saudaranya apa yang ia suka untuk dirinya sendiri. (Lihat Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam hal 328)
Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dan bersabar (*sehingga tidak merealisasikan hasadnya), dan tidak termasuk dalam orang-orang yang berbuat dzolim, maka Allah akan memberi manfaat kepadanya dengan ketakwaannya tersebut. Sebagaimana yang dialami oleh Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anhaa. Ia adalah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyaingi Aisyah (di hati Nabi)” (Majmuu’ Al-Fataawaa 10/125, yaitu Zainab selamat tidak ikut-ikutan menuduh Aisyah dalam kasus ‘ifk/tuduhan Aisayh berzina. Padahal saudarinya Hamnah binti Jahsy ikut terprovokasi sehingga ikut-ikutan menuduh Aisyah)
Sebab Timbulnya Hasad
Ibnu Taimiyyah berkata :
“Dan hasad diantara para wanita sering terjadi dan mendominasi, terutama diantara para istri-istri pada satu suami. Seorang wanita cemburu karena adanya para istri yang lain yang menyertainya. Demikianlah hasad sering terjadi diantara orang-orang yang berserikat dalam kepemimpinan atau harta jika salah seorang dari mereka mendapatkan bagian dan yang lainnya luput dari bagian tersebut. Demikian juga hasad terjadi diantara orang-orang yang setara karena salah seorang diantara mereka lebih dari pada yang lain. Sebagaimana para saudara nabi Yusuf, demikian juga hasadnya salah seorang anak Adam kepada yang laiinya. Ia hasad kepada saudaranya karena Allah menerima korbannya sementara kurbannya tidak diterima. Ia hasad kepada kelebihan yang Allah berikan berupa keimanan dan ketakwaan –sebagaimana hasadnya yahudi terhadap kaum muslimin- sehingga iapun membunuh saudaranya karena hasad tersebut” (Majmuu’ Al-Fatawa 10/125-126)
Karenanya seorang penjual minyak wangi memiliki hasad yang sangat besar kepada penjual minyak wangi yang lain, terlebih lagi jika penjual yang lain tersebut berjualan di areal yang sama. Padahal meskipun di dekat areal tersebut ada show room mobil yang pemiliknya memperoleh keuntungan puluhan juta tiap hari, akan tetapi para penjual minyak wangi tidak hasad kepada sang pemilik show room, karena segmen dan profesi yang berbeda.
Demikian juga dokter hasad kepada dokter yang lain jika ternyata pasien dokter tersebut lebih banyak dari pasiennya.
Tukang becak hasad kepada tukang becak lainnya, dan ia tidak hasad kepada para supir taksi yang mungkin untung mereka berlipat-lipat ganda daripada untuk si tukang becak.
Demikian pula tetangga hasad kepada tetangga yang lain, tatkala melihat isi rumah tetangganya lebih mewah, demikian juga bangunan rumahnya lebih mewah.
Demikian juga penuntut ilmu hasad kepada penuntut ilmu yang lain, jika ternyata niatnya menuntut ilmu tidak ikhlas karena Allah.
Keburukan Hasad
Pertama : Hasad bertentangan dengan nilai dan konsekuensi persaudaraan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَقَاطَعُوا وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
“Janganlah kalian saling hasad, janganlah saling membenci, jangan saling memboikot, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” (HR Muslim no 2559)
Padahal diantara kaum mukminin harusnya saling mencintai dan menyayangi. Allah berfirman:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath : 29)
Kedua : Hasad merupakan penyakit.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الأُمَمِ قَبْلَكُمْ : الْحَسَدُ وْالْبَغْضَاءُ، وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ لاَ أَقُوْلُ تَحْلِقُ الشَّعْرَ وَلَكِنْ تَحْلِقُ الدِّيْنَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِمَا يُثْْبِتُ ذَلِكَ لَكُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Telah berjalan kepada kalian penyakit umat-umat terdahulu, hasad dan permusuhan. Dan permusuhan adalah membotaki. Aku tidak mengatakan membotaki rambut, akan tetapi membotaki agama. Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku kabarkan kepada kalian dengan apa bisa menimbulkan hal tersebut?, tebarkanlah salam diantara kalian” (HR At-Thirmidzi 2/83 dan Ahmad 1/165,167, dan dihasankan oleh Al-Albani dalama Irwaaul Gholil 3/238)
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda:
سَيُصِيْبُ أُمَّتِي دَاءُ الأُمَمِ ، فَقَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا دَاءُ الأُمَمِ ؟ قَالَ : الأَشْرُ، وَالْبَطْرُ والتَّكَاثُرُ وَالتَّنَاجُشُ فِي الدُّنْيَا وَالتَّبَاغُضُ وَالتَّحَاسُدُ حَتَّى يَكُوْنَ الْبَغْيُ
“Umatku akan ditimpa penyakit umat-umat”. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apakah itu penyakit umat-umat (terdahulu)?”. Rasulullah berkata, “Kufur Nikmat, bersikap berlebihan terhadap nikmat Allah (terlalu riang gembira/berfoya-foya), saling berlomba-lomba memperbanyak dunia, saling berbuat najsy, saling memusuhi, dan saling hasad-menghasadi hingga timbulnya sikap melampaui batas (kedzoliman)” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 680)
Ibnu Taimiyyah berkata, “Rasulullah menamakan hasad sebagai penyakit… maka dikatahui bahwasanya hasad merupakan penyakit. Dalam hadits yang lain (doa Nabi)
أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَهْوَاءِ وَالأَدْوَاءِ
“Aku berlindung kepada Engkau dari akhlak yang munkar, dari hawa nafsu, dan dari penyakit-penyakit” (Majmuu Al-Fataawaa 10/126)
Ketiga : Hasad lebih buruk dari pelit
Ibnu Taimiyyah berkata :
وَالشُّحُّ مَرَضٌ وَالْبُخْلُ مَرَضٌ وَالْحَسَدُ شَرٌّ مِنَ الْبُخْلِ
“Rasa pelit penyakit, kikir merupakan penyakit, dan hasad lebih buruk daripada rasa pelit” (Majmuu Al-Fataawa 10/128)
Hal ini dikarenakan orang yang pelit ia hanya mencegah dirinya dari kenikmatan Allah, atau mencegah orang lain dari kenikmatan yang Allah yang ia miliki. Adapun orang yang hasad ia membenci kenikmatan Allah pada orang lain.
Terkadang seseorang dermawan dengan memberikan pemberian kepada orang lain yang membantunya akan tetapi ia hasad kepada orang-orang lain yang semisalnya. Terkadang seseorang pelit akan tetapi ia tidak hasad kepada orang lain. (lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 10/29)
Keempat ; Orang yang hasad pada hekekatnya protes dengan keputusan Allah.
Allah yang telah mentaqdirkan si fulan kaya, si fulan cerdas, sifulan cantik, dll.
Allah berfirman :
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (٣٢)
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (Az-Zukhruf : 32)
وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ (٥٣)
“Dan Demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang Kaya itu) berkata: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (Allah berfirman): “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?” (QS Al-An’aam : 53)
Lantas orang yang hasad ini protes dari sisi :
– Tidak setuju dengan pembagian Allah tersebut
– Tidak setuju kalau si fulan mendapatkan kenikmatan, dan merasa bahwa dialah yang lebih pantas meraih kenikmatan tersebut
Kelima : Orang yang hasad pada hekekatnya telah berbuat baik kepada orang yang ia hasadi. Karena jika ia telah hasad ia biasanya menzolimi orang yang ia hasadi dengan perbuatan maupun dengan perkataan. Baik merendahkan atau menggibahinya. Dengan demikian maka ia telah mentransfer kebaikan-kebaikannya kepada orang yang ia hasadi tersebut pada hari kiamat kelak, pada hari dimana sangat dibutuhkan kebaikan-kebaikan untuk ditimbang oleh Allah
Keenam : Orang yang hasad telah bertasyabbuh dengan iblis dan kaum yahudi. Karena hasad adalah akhlak iblis dan orang-orang yahudi.
Ketujuh : Orang yang hasad pada hakikatnya meminta agar Allah memberinya cobaan yang belum tentu bisa ia pikul. Seseorang miskin yang hasad kepada orang yang kaya hendaknya ia berhusnudzon kepada Allah tatkala ia belum diizinkan Allah untuk menjadi kaya, karena bisa jadi jika ia diberi kekayaan oleh Allah maka ia akan semakin jauh dari Allah dan terjerumus dalam berbagai kemaksiatan, sebagaimana yang banyak dialami oleh orang-orang yang kaya raya. Dan bukankah jika ia kaya, maka akan banyak orang yang hasad kepadanya?, sehingga ia tidak akan aman dari gangguan mereka yang hasad kepadanya??!.
Seorang yang hasad kepada orang yang memiliki ilmu lebih dan dakwahnya lebih diterima, hendaknya ia husnudzon kepada Allah, karena bisa jadi jika Allah memindahkan ilmu orang tersebut kepadanya maka ia tidak mampu memikulnya, bisa jadi iapun menjadi orang yang riya dan angkuh sehingga menjerumuskan ia ke dalam api neraka.
Kedelapan : Hasad adalah penyebab dosa pertama kali di langit dan dibumi. Iblis kafir kepada Allah karena hasad kepada Adam, dan Qobil membunuh Habil pun karena hasad.
Tidak Hasad Sebab Masuk Surga
Membersihkan hati dari segala model hasad merupakan perkara yang sangat berat dan butuh perjuangan yang berkesinambungan.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:
كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ” يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ، قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الشِّمَالِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ ذَلِكَ، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى . فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ حَالِهِ الْأُولَى، فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ: إِنِّي لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا، فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ ؟ قَالَ: نَعَمْ
“Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliaupun berkata : “Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga”. Maka munculah seseorang dari kaum Anshoor, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya : “Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?. Maka orang tersebut berkata, “Silahkan”.
Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya :
وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ، فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ، حَتَّى يَقُومَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ . قَالَ عَبْدُ اللهِ: غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا، فَلَمَّا مَضَتِ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ أَحْقِرَ عَمَلَهُ، قُلْتُ: يَا عَبْدَ اللهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ، وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ: ” يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ، فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ، فَأَقْتَدِيَ بِهِ، فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ، فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ . قَالَ: فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ
“Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Aaash bercerita bahwasanya iapun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan sholat malam, hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka iapun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk sholat subuh. Abdullah bertutur : “Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan. Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka akupun berkata kepadanya : Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata sebanyak tiga kali : Akan muncul sekarang kepada kalian seorang penduduk surga”, lantas engkaulah yang muncul, maka akupun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku contohi, namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Maka apakah yang telah menyampaikan engkau sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Orang itu berkata : “Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat”. Abdullah bertutur : “Tatkala aku berpaling pergi maka iapun memanggilku dan berkata : Amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan perasaan dengki (jengkel) dalam hatiku kepada seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasad kepada seorangpun atas kebaikan yang Allah berikan kepadanya”. Abdullah berkata, “Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga-pen), dan inilah yang tidak kami mampui” (HR Ahmad 20/124 no 12697, dengan sanad yang shahih)
Perhatikanlah hadits yang sangat agung ini, betapa tinggi nilai amalan hati di sisi Allah. Sahabat tersebut sampai dinyatakan sebagai penduduk surga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tiga kali selama tiga hari berturut-turut, sebabnya… karena ia tidak telah membersihkan hatinya dari segala noda hasad !!!. Padahal amalan dzohirnya sedikit, sahabat ini tidak rajin berpuasa sunnah dan tidak rajin sholat malam, akan tetapi yang menjadikannya mulia… adalah amalan hatinya. (silahkan baca kembali https://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/106-pentingnya-amalan-hati)
Ibnu Taimiyyah berkata, “Perkataan Abdullah bin ‘Amr kepadanya, “Inilah yang telah engkau capai yang kami tidak mampui” memberi isyarat akan bersih dan selamat hatinya dari segala bentuk dan model hasad” (Majmuu’ Al-Fataawaa 10/119)
Para sahabat kaum Anshoor telah membersihkan hati mereka dari rasa hasad terhadap saudara-saudara mereka kaum muhajirin. Allah berfirman
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٩)
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung” (Al-Hasyr : 9)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Firman Allah “Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka (hasad) terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)” yaitu:
وَلاَ يَجِدُوْنَ فِي أَنْفُسِهِمْ حَسَدًا لِلْمُهَاجِرِيْنَ فِيْمَا فَضَّلَهُمُ اللهُ بِهِ مِنَ الْمَنْزِلَةِ وَالشَّرَفِ، وَالتَّقْدِيْمِ فِي الذِّكْرِ وَالرُّتْبَةِ
“Mereka tidak mendapatkan dalam diri mereka rasa hasad kepada kaum muhajirin atas keutamaan yang Allah berikan kepada mereka, berupa kedudukan dan kemuliaan, serta penyebutan dan kedudukan”
Ibnu Taimiyyah berkata, “Antara kaum Al-Aus dan Al-Khozroj terjadi persaingan dalam agama. Maka jika sebagian mereka melakukan apa yang menjadikan mereka mulia di sisi Allah dan RasulNya maka yang lainnya juga senang untuk melakukan yang semisalnya, dan ini merupakan persaingan yang mendekatkan mereka kepada Allah sebagaimana firman Allah
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (٢٦)
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (Al-Muthoffiifin : 26) (Majumuu’ Al-Fataawaa 10/20)
Yang Bukan Termasuk Hasad
Pertama : Al-Ghibtoh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak ada hasad kecuali pada dua orang, seseorang yang Allah anugrahkan harta lantas ia menghabiskan hartanya untuk kebenaran, dan seseorang yang dianugerahkan Allah al-hikmah maka ia pun memutuskan perkara dengan hikmah tersebut dan mengajarkannya” (HR Al-Bukhari no 73 dan Muslim no 816)
Kedua : Ar-Roozi berkata, “Seluruh bentuk hasad haram hukumnya, kecuali hasad kepada kenikmatan yang ada pada seorang kafir atau seorang fajir yang menggunakan kenikmatan tersebut untuk keburukan dan kerusakan. Maka tidak memberikan mudhorot bagimu (tidak mengapa) jika engkau menyukai hilangnya kenikmatan tersebut. Karena tidaklah engkau menghendaki hilangnya kenikmatan karena dzat kenikmatan tersebut, akan tetapi karena digunakannya kenikmatan tersebut untuk kerusakan, keburukan, dan mengganggu orang lain” (At-Tafsiir Al-Kabiir 3/238)
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 29-05-1433 H / 21 April 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com